-->

Cara Menceritakan Kembali Isi Cerpen

Pernahkan kau membaca cerpen yang sangat menarik sehingga kau sangat ingin menceritakan isinya kepada orang lain? Apa yang harus kau lakukan biar kau sanggup menceritakan isi cerpen itu dengan baik? Lalu, apa saja yang harus kau perhatikan biar sanggup menceritakan kembali dengan baik? Untuk mendapat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, ikutilah kegiatan-kegiatan berikut ini tahap demi tahap sehingga kau bisa menceritakan kembali secara lisan isi cerpen.

Menceritakan Kembali Isi Cerpen

Cerpen sebagai salah satu hasil karya sastra mempunyai unsur intrinsik dan ekstrinsik yang terkandung di dalamnya. Unsur intrinsik merupakan unsur yang membangun karya sastra yang berasal atau terdapat dalam karya sastra itu sendiri.

Unsur intrinsik karya sastra mencakup tema, amanat, alur, latar, penokohan, sudut pandang, serta gaya bahasa. Adapun unsur ekstrinsik merupakan unsur pembentuk karya sastra yang berasal dari luar karya sastra.

Unsur ekstrinsik mencakup latar belakang budaya dan pendidikan pengarang, adab istiadat daerah, dan sebagainya.

1. Membaca Cerpen dan Mengapresiasikannya

Bacalah cerpen berikut ini dengan cermat! Ikutilah kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf dengan penghayatan sungguh-sungguh.

Rasakan suasana batin tokoh yang terlibat di dalamnya. Bayangkan dan rasakan suasana latar cerita. Ikuti jalinan kisah dari insiden satu ke insiden lainnya. Pendek kata, lakukan kegiatan apresiasi sastra!

Contoh Cerpen

PASIEN

Cerpen Sori Siregar Waktu keberangkatan pesawat terbang yang akan saya tumpangi menuju sebuah kota di mancanegara, ditunda dua jam. Seorang ibu bertubuh sintal mengomel alasannya ia niscaya terlambat menghadiri upacara wisuda anaknya di kota yang kami tuju itu. 

Seorang lelaki setengah baya yang tak putus-putusnya merokok selama menunggu waktu keberangkatan memukul keningnya. "Aduh, jadwal yang sudah disusun jadi berantakan," katanya setengah berteriak.
 

Berbagai komentar sebagai reaksi atas keterlambatan keberangkatan itu terlontar dari hampir setiap lisan calon penumpang yang akan berangkat. Saya yang merasa tidak perlu menambah carutmarut ibarat itu melangkah ke restoran yang tidak jauh dari ruang tunggu. Beberapa calon penumpang lain juga mulai melangkah meninggalkan ruang tunggu itu.
 

Di restoran itu saya hanya memesan secangkir kopi dan sepotong croissant. Saya menentukan duduk di pojok biar sanggup membaca buku yang gres saya beli dengan tenang. Saya karam dalam kisah yang dituturkan Gabniel Garcia Marquez pada buku tipis terbitan Penguin itu.
 

Belum setengah jam dengan keasyikan itu seseorang menghampiri saya dan menarik dingklik di depan saya. Saya menoleh ke arahnya. Ia mengulurkan tangan sambil menyebut namanya. Saya menyambut uluran tangannya dengan menyebut nama saya.
 

"Perjalanan bisnis?" orang berjulukan Iskandar Zulkarnain itu bertanya. "Oh, bukan. Seminar," Ia mengangguk. Setelah mengeluarkan sebungkus rokok Marlboro dari saku jasnya, ia memperlihatkan sebatang rokoknya kepada saya. Saya menolak dengan mengucapkan terima kasih.
 

"Anda tahu mengapa Anda yang saya datangi, bukan yang lain-lain itu?" ia bertanya sambil mengarahkan ibu jarinya kepada calon penumpang lain yang juga banyak di restoran itu. Saya menggeleng. 

"Karena itu," ungkapnya sambil menunjuk buku tipis yang saya pegang. "Dari tadi saya lihat Anda tekun membaca di ruang tunggu itu. Anda orang yang tahu menghargai waktu. Dan serius. Maaf, saya mengganggu keasyikan Anda alasannya menentukan duduk di sini. 

Silakan terus membaca," tuturnya sambil membungkuk mengeluarkan sebuah majalah berbahasa Inggris dari tas yang dibawanya. Setelah membalik-balik beberapa halaman majalah itu, ia menyandar dan mulai membaca. Saya kembali membaca kisah karangan Marquez sambil sesekali meliriknya. 

Melihat jas yang dikenakannya dan majalah yang dibacanya, saya merasa lelaki berusia sekitar 45 tahun ini yaitu seorang pengusaha. Orang-orang bisnis biasanya sangat mementingkan penampilan ibarat itu di samping hanya tertarik pada majalah bisnis.
 

Ketika ia menoleh ke arah saya, kebetulan saya sedang mengangkat cangkir kopi. Dengan santun saya mengajaknya minum. Ia gres sadar bahwa ia belum memesan apa-apa. Dengan isyarat, ia memanggil pelayan dan memesan segelas cappucino, yang lima menit kemudian diletakkan oleh pelayan di depannya. Ia segera menyeruput minuman hangat itu.
 

Setelah itu ia kembali membaca majalahnya. Kalau tadi ia menyampaikan bahwa saya sangat menghargai waktu, kini saya pun beranggapan begitu wacana dirinya. Ia lebih suka membaca daripada berbicara dengan saya. Dan serius, ibarat tadi ia menilai saya.
 

Apakah hanya alasannya persamaan itu ia menentukan duduk di dekat saya di restoran ini? Ataukah keasyikannya membaca itu hanya pretensi dan merupakan pengantar ke arah tujuan yang sebenarnya? Saya tidak berani mengambil kesimpulan apa pun.
 

Satu jam berlalu dan kami belum saling mengenal lebih jauh. Setelah membaca tiga fiksi pendek dari kumpulan cerpen Garcia Marquez, saya menutup buku tipis itu dan meletakkannya di meja samping cangkir kopi.
 

Pada waktu yang hampir bersamaan ia menutup majalahnya dan memasukkannya kembali ke dalam tasnya. "Marquez," katanya. "Saya suka juga dia. Cuma saya lebih sering membaca Ortega Y Gasset dan Pablo Neruda. Karya-karya dari Ameria Latin memang dekat dengan kita. 

Semangatnya sama, maklum dari dunia ketiga," ungkapnya melanjutkan. Saya menyambut kata-katanya dengan tersenyum. Rupanya ia juga suka membaca karya sastra. Dugaan saya bahwa ia hanya gemar membaca yang ada kaitannya dengan bisnis saja ternyata meleset.
 

"Cuma ke London?" ia bertanya. Saya mengangguk. "Saya harus ke beberapa kota. London, Paris, Zurich, dan Wina. Sebenarnya saya sudah capek mondar-mandir begini, tapi Bos tetap juga menyuruh saya,".
 

Ini orang penting, ujar saya dalam hati. Paling tidak orang doktrin atasan. Berhadapan dengan orang ibarat ini saya lebih suka mendengar daripada berbicara.
 

"Sebagai frequent traveller saya suka memakai pelayanan perusahaan penerbangan yang berbeda. Nah, gres kali ini jadwal keberangkatan tertunda. Saya tidak akan mau lagi naik pesawat perusahaan ini. Buang waktu," tuturnya melontarkan kekesalannya.
 

Setelah sekali lagi menyeruput cappucino di depannya, ia bercerita wacana dirinya tanpa saya minta. Ia bekerja di sebuah bank aneh di Jakarta 10 Bahasa Indonesia, Bahasa Kebanggaanku Kelas IX Sekolah Menengah Pertama dan MTs dengan kantor sentra di London. 

Semula ia bertugas sebagai kepala departemen sumberdaya, kemudian dipindahkan ke bab kredit, dan terakhir memegang jabatan kepala bab valuta asing. Nah, saat bertugas di bab terakhir inilah ia sering bepergian ke mancanegara. Saya percaya saja alasannya saya memang tidak tahu apa-apa wacana dunia perbankan.
 

Semula ia tidak tertarik bekerja di bank, tapi alasannya lamarannya ditolak di beberapa tempat, balasannya ia melamar ke bank tempatnya bekerja sekarang. Karena ia lulus tes dan bahasa Inggrisnya bagus, ia diterima dengan honor awal yang lumayan. Belakangan, alasannya ia telah dekat dengan dunia perbankan, ia merasa senang bekerja di bank aneh itu. 

Iskandar Zulkarnain yang berputri dua orang dan keduanya duduk di Sekolah Menengan Atas itu tak sempat menyudahi riwayatnya alasannya panggilan terdengar melalui pengeras bunyi di restoran biar semua penumpang segera kembali ke ruang tunggu alasannya pesawat sebentar lagi akan tinggal landas.

Sumber: Suara Karya, 10 Oktober 2004


2. Menceritakan Kembali secara Lisan Isi Cerpen

Setelah kau sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dengan baik, kau tentu makin menghayati isi cerpen tersebut. Agar kau dapat  menceritakan kembali isi cerpen dengan baik, kau dituntut bisa menyusun kerangka pokok kisah yang terdapat dalam cerpen tersebut. Kerangka itu sanggup digunakan sebagai panduan biar kau sanggup menceritakan kembali isi cerpen secara runtut.

Baca Juga : Menyimpulkan Isi Dialog Interaktif
LihatTutupKomentar