-->

Dampak Perkembangan Kolonialisme dan Imperialisme Eropa dalam Bidang Politik, Struktur Pemerintahan dan Ekonomi

Setelah VOC dibubarkan, terjadilah perubahan penting dalam sistem pemerintahan di tanah Hindia Belanda. Pembaruan sistem pemerintahan ini terutama dilakukan oleh Daendels. Namun sistem pemerintahan yang baru itu dapat dilembagakan dan dilaksanakan secara nyata pada jaman pemerintahan Rafles. sistem pemerintahan yang baru itu bersifat dualistis, yakni ada pemerintahan Eropa dan ada pemerintahan pribumi (sekalipun harus tunduk pada penguasa Eropa). Di samping itu, sebenarnya ada kelompok Timur Asing yang kedudukannya setara dengan pribumi. Dalam hal ini para pangreh praja direpresentasikan dalam pemerintahan pribumi. Namun penguasa kolonial sangat menentukan sistem pergantian kekuasaan pemerintahan pribumi.

(Sementara itu) sejak pemerintahan Daendels, pembaruan di bidang pendidikan di Hindia Belanda (juga) mulai dilakukan. Awalnya hanya ditujukan untuk kepentingan tertentu dan kalangan tertentu. Namun sejak Politik Etis bergulir, para bumiputra Hindia Belanda pun turut mengenyam pendidikan ala Barat. Pada masa selanjutnya, hal ini menjadi bumerang bagi Belanda karena pendidikan tersebut justru melahirkan elite lokal yang menaruh perhatian besar pada semangat nasionalisme.
(Taufik Abdullah & A.B. Lapian (ed). Indonesia dalam arus sejarah (2012H).

Uraian tersebut menggambarkan bahwa penjajahan Barat memiliki implikasi terhadap perkembangan kehidupan bangsa Indonesia. Di samping perkembangan pendidikan persekolahan (pendidikan modern) juga menggerakkan semangat nasionalisme. Munculnya semangat nasionalisme dan cinta tanah air, sebenarnya sudah muncul setelah Indonesia ini dijajah dan digerogoti oleh kekuatan kolonialisme dan imperialisme. Timbullah berbagai bentuk perlawanan dan pergerakan kebangsaan. Hal ini terjadi karena kondisi sosial ekonomi rakyat yang semakin memprihatinkan akibat dari penindasan kaum penjajah, kekejaman kolonialisme dan imperialisme Eropa. Berikut ini kita akan belajar bagaimana dampak perkembangan kolonialisme dan imperialisme Eropa di Indonesia.

1. Bidang Politik dan Struktur Pemerintahan
Dalam bidang politik, para penguasa penjajahan Barat terutama Belanda melakukan kebijakan yang sangat ketat dan cenderung menindas. Pemerintah kolonial menjalankan politik memecah belah atau devide et impera. Tidak hanya politik memecah belah, tetapi juga disertai dengan tipu muslihat yang cenderung menghalalkan segala cara sehingga melanggar norma-norma kemanusiaan. Misalnya pura-pura mengajak perundingan damai tetapi malah ditangkap (penangkapan Pangeran Diponegoro), pura-pura diajak berunding tetapi malah dibunuh (pembunuhan Sultan Khaerun/Hairun). Secara politik martabat rakyat Indonesia jatuh dan menjadi tidak berdaulat. Rakyat Indonesia juga menjadi kelompok masyarakat kelas tiga setelah kelompok orang-orang Barat (penjajah) dan kelompok orang-orang timur asing.

Berangkat dari politik memecah belah dan praktik-praktik tipu muslihat itu, kekuatan kolonial Belanda terus memperluas wilayah kekuasaannya. Penguasa kolonial juga selalu campur tangan dalam pergantian kekuasaan di lingkungan kerajaan/pemerintahan pribumi. Penguasa-penguasa pribumi/lokal dan rakyatnya kemudian menjadi bawahan penjajajah. Hal ini dapat menimbulkan sikap rendah diri di kalangan rakyat. Beberapa penguasa pribumi mulai tidak memperhatikan rakyatnya.

Perlu disadari bahwa masa sebelum penjajahan dan sebelum terjadi intervensi politik para penguasa kolonial, berkembang sistem kerajaan. Kerajaan ini berkembang sendiri-sendiri di berbagai daerah. Tetapi seperti telah disinggung di depan bahwa pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels, telah dilakukan pembaruan bidang politik dan administrasi pemerintahan. Daendels telah membagi wilayah kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia/Hindia Belanda di Jawa dibagi menjadi sembilan prefektur dan terbagi dalam 30 regentschap (kabupaten). Setiap prefektur diangkat seorang pejabat kepala pemerintahan yang disebut dengan prefek. Seorang pejabat prefek ini diangkat dari orang Eropa. Kemudian setiap regentschap/kabupaten dikepalai oleh seorang regent atau bupati yang berasal dari kaum pribumi. Namun, status bupati sampai dengan camat (yang disebut priayi) sepenuhnya menjadi pegawai negeri (binnenland bestuur) baru terwujud setelah diterapkannya sistem Tanam Paksa pada pertengahan 1850-an).

Setiap bupati ini merupakan pegawai pemerintah yang digaji. Dengan demikian, para bupati ini telah kehilangan hak jabatan yang diwariskan secara turun temurun (lihat uraian dalam buku Taufik Abdullah dan A.B. Lapian, 2012).

Setiap prefek diberikan kekuasaan yang besar dan ditugasi untuk memperketat pengawasan administratif dan keuangan terhadap para penguasa pribumi. Ruang gerak para penguasa pribumi semakin sempit. Kewibawaan yang berusaha diciptakannyapun menjadi semu.

Dalam struktur pemerintahan dikenal adanya pemerintahan tertinggi, semacam pemerintahan pusat. Sebagai penguasa tertinggi adalah gubernur jenderal. Di tingkat pusat ini juga ada lembaga yang disebut dengan Raad van Indie, tetapi perannya cenderung sebagai dewan penasihat. Dalam pelaksanaan pemerintahan juga dikenal adanya departemen-departemen untuk mengatur pemerintahan secara umum. Beberapa departemen hasil reorganisasi tahun 1866, antara lain ada Departemen Dalam Negeri; Departemen Pendidikan, Agama, dan Kerajinan; Departemen Pekerjaan Umum; Departemen Keuangan; Departemen Urusan Perang; kemudian dibentuk Departemen Kehakiman (1870); Departemen Pertanian (1904), yang disempurnakan menjadi Departemen Pertanian, Industri dan Perdagangan (1911).

Sementara itu, dalam pelaksanaan pemerintahan dalam negeri, sangat jelas adanya dualisme pemerintahan. Ada pemerintahan Eropa (Europees bestuur) dan pemerintahan pribumi (Inlands bestuur). Di lingkungan pemerintahan Eropa ini, terdapat pejabat wilayah yang paling tinggi yakni residen. Ia memimpin wilayah karesidenan. Di seluruh Jawa-Madura terbagi menjadi 20 karesidenan.

Begitu juga di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan pulau-pulau bagian timur juga dibagi dalam wilayah karesidenan-karesidenan, tetapi jumlahnya relatif kecil.

Di bawah residen ada pejabat asisten residen. Asisten residen ini mengepalai suatu wilayah bagian dari karesidenan yang dinamakan afdeling. Di bawah asisten residen masih ada pejabat yang disebut kontrolir (controleur). Ia memimpin wilayah yang dinamakan controle-afdeling.

Selanjutnya yang terkait dengan pemerintahan pribumi, para pejabatnya semua dijabat oleh priayi pribumi. Jenjang tertinggi dalam pemerintahan pribumi adalah seorang regent atau bupati. Ia memimpin sebuah wilayah kabupaten. Seorang bupati ini dibantu oleh seorang pejabat yakni patih. Satu wilayah kabupaten umumnya terbagi menjadi beberapa distrik yang dipimpin oleh seorang wedana. Setiap distrik kemudian terbagi menjadi onderdistrik yang dikepalai seorang asisten wedana atau sekarang camat. Unit paling bawah kemudian ada desa-desa.

Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Raffles di Hindia Belanda, ia mereformasi pemerintahan pada saat itu. Raffles yang berpandangan liberal mulai menghapus ikatan feodal dalam masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa yang sudah terbiasa hidup dalam adat-istiadat dan ikatan feodal yang kuat dipaksa untuk mengikuti sistem birokrasi baru. Karena itu, dari para penguasa pribumi seperti raja, bupati, hingga kepala desa harus mengikuti sistem pemerintahan dan birokrasi yang baru. Dalam hal ini pemerintah pusat dapat langsung berhubungan dengan rakyat tanpa perantara penguasa lokal. Sebenarnya pekerjaan ini sudah diawali oleh Daendels, sehingga Raffles tinggal melanjutkan saja. Pembaruan yang dilakukan Raffles juga menyangkut struktur pemerintahan dan peradilan.

Pada masa pemerintahan Raffles, bupati sebagai penguasa lokal harus dijauhkan dari otonomi yang menguntungkan diri sendiri. Seorang bupati diangkat sebagai pegawai pemerintah di bawah seorang residen. W. Daendels memberikan istilah itu dengan prefek atau landrost. Raffles kemudian membagi Jawa menjadi 16 keresidenan. Tiap keresidenan dikepalai oleh seorang residen dan dibantu oleh beberapa asisten residen. Pembaruan yang dilakukan Raffles ini bertujuan untuk melakukan transformasi sistem pemerintahan Jawa, yaitu menggantikan sistem tradisional Jawa yang bersifat patrimonial menuju sistem pemerintahan modern yang rasional.

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, sistem pemerintahan Raffles diperbaiki kembali. Di samping itu untuk menyatukan seluruh wilayah Hindia Belanda yang masih berbentuk kerajaan-kerajaan, pemerintah Kolonial Belanda melakukan politik pasifikasi kewilayahan di Aceh, Sumatera Barat, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sunda Kecil, Maluku dan Papua. Penyatuan seluruh wilayah Hindia Belanda ini baru berhasil sekitar tahun 1905. Bersatunya Hindia Belanda ini dikenal dengan Pax Neerlandica masa setelah itu, wilayah Hindia Belanda telah stabil di bawah kekuasaan Hindia Belanda. Wilayah inilah setelah proklamasi menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

2. Bidang Ekonomi
Pada masa pemerintahan Daendels, perubahan sistem pemerintahan telah membawa pada perubahan sistem perekonomian tradisional. Dalam sistem modern, tanah-tanah milik Raja berubah statusnya menjadi tanah milik pemerintah kolonial. Dalam masa pemerintahan kolonial, mencari uang dan mengumpulkan kekayaan menjadi tujuan utama. Uang dan kekayaan mereka kumpulkan untuk membiayai keperluan pemerintahan yang sedang berlangsung saat itu. Untuk mendapatkan uang pemerintah kolonial memperolehnya dari penjual hasil bumi dari para petani berupa pajak. Petani pun harus menjual hasil bumi dengan harga yang telah ditetapkan.

Grote Postweg atau jalan Raya Pos yang menghubungkan Anyer sampai Panarukan, dibuka pada masa Daendels memerintah Hindia Belanda. Jalan itu dibangun hampir di seluruh Pulau Jawa sebagai sarana pertahanan untuk menghadapi Inggris. Jalan yang dibangun itu menembus sebagian hutan dan gunung untuk menghindari rawa-rawa antara Jakarta dan Cirebon. Pembangunan jalan itu terkait dengan masalah politik yang sedang menimpa pemerintah, seperti masalah keuangan, ancaman Inggris, pemberontakan Banten dan Cirebon, serta banyak musuh-musuh Daendels. Tindakan Daendels ini mendapat pujian dari menteri penjajahan. Karena dengan pembangunan jalan itu maka akan mengurangi pengeluaran pemerintahan. Pembangunan jalan sepanjang 1000 km itu dilakukan dengan kerja rodi. Meskipun dibangun dengan kerja rodi, jalan itu berguna untuk memakmurkan pedalaman Jawa sebagai konsekuensi yang teratur. Menurut Daendels, jalan itu membawa keuntungan bagi penduduk setempat dengan semakin ramainya perdagangan. Meskipun jalan pos ini membawa perkembangan daerah yang dilaluinya, namun kritik pedas kepada Daendels dilontarkan karena pembangunan jalan itu telah merenggut ribuan nyawa manusia.

Pada masa Raffles terjadi perubahan sistem kepemilikan tanah dari tanah raja dan penguasa lokal ke pemerintah. Ini berarti pemerintah mempunyai kewenangan untuk menyewakan tanah. Perubahan dari sistem kepemilikan tanah inilah yang menyebabkan pula terjadinya perubahan hubungan antara raja dan kawulanya, yaitu dari patron-client menjadi hubungan-hubungan yang bersifat komersial. Adanya penyewaan tanah ini berarti pemerintah mendapatkan pajak tanah, dan kas pemerintah pun terisi. Dengan demikian pelaku ekonomi adalah pihak swasta. Sistem ini telah membuka kemerdekaan ekonomi yang didukung oleh kepastian hukum usaha. Perdagangan bebas pun mulai dilakukan. Dalam kaitannya dengan ini, bila perdagangan bebas dilakukan maka kemakmuran rakyat akan tumbuh dengan sendirinya. Sejak itulah sistem kegiatan ekonomi uang di desa-desa Jawa dan daerah lain di Hindia Belanda yang telah lama dikenal dengan sistem ekonomi swadaya berubah menjadi sistem ekonomi komersial.

Setelah pemerintah Raffles berakhir, diganti dengan pemerintahan Hindia Belanda ekonomi uang terus berkembang, dan kegiatan perdagangan pun semakin luas. Perkembangan ini didukung oleh perkembangan di bidang perbankan. Sejak tahun 1828 era perbankan modern masuk ke Hindia Belanda. Pada masa itu De Javasche Bank, didirikan di Batavia pada tanggal 24 Januari 1828. Kemudian menyusul berdiri bank-bank lainnya seperti Nederlands Handels Maatschappij, De Nationale Handels Bank dan Escompto Bank. Selain itu juga berkembang bank-bank lain yang berasal dari Inggris, Australia dan Cina. Bahkan juga ada juga bank milik pribumi yaitu Bank Desa, Lumbung Desa.

Dampak lain dari pemerintahan kolonial adalah munculnya kota-kota baru yang ditandai dengan adanya jaringan transportasi berupa jalur-jalur kereta api dari Jakarta ke Bogor, dan kereta api di Pulau Jawa dan lain sebagainya. Pada tahun 1840, muncul penyelidikan tentang pembangun jalur kereta api yang menghubungan dari Surabaya lewat Solo ke Yogyakarta hingga ke Priyangan. Pada September 1895, Jaringan kereta api Semarang-Cirebon terbangun. Jaringan kereta api juga dibangun di Sumatera. Perusahaan Zuid Sumatera Staatsramwegen membangun jaringan di Lampung sepanjang 62 km dan Palembang sepanjang 152 km yang telah beroperasi 1917. Di Sumatera Barat, sejak 1833 telah dibangun kereta api, begitu juga di Aceh. Di samping itu, jalur transpotasi darat membawa banyak perkembangan dalam bidang perekonomian.

Munculnya pelabuhan-pelabuhan membawa pengaruh pada perkembangan perdagangan. Terbentuknya jaringan kereta api yang terhubung ke pelabuhan–pelabuhan sehingga pelabuhan-pelabuhan di Hindia Belanda mulai tersambung pula, karena didukung munculnya angkutan kapal laut. Perkembangan ekonomi juga didukung oleh munculnya kemajuan komunikasi dan transpotasi. Pada 1746, kantor pos pertama didirikan di Batavia. Hal ini mengalami kemajuan lagi setelah Daendels membangun jalan pos yang menghubungkan di wilayah Pulau Jawa. Terhubungnya jaringan kereta api dan jalan pos telah mempercepat pengiriman surat lewat pos, sehingga informasi semakin berkembang cepat. Di Sumatera pelayanan pos dilakukan dengan mobil, misalnya di Palembang, Pantai Timur Sumatera dan Aceh. Pelayanan telegrap dimulai sejak 1855, sehingga informasi semakin cepat sampai. Sistem ekonomi kapitalis mulai bangkit dengan ditandai oleh masyarakat Indonesia yang mulai mengenal beberapa jenis tanaman perkebunan yang menjadi bahan ekspor di pasar dunia.
Hal yang menarik dan penting untuk diketahui dalam konteks politik dan ekonomi itu adalah usaha perluasan daerah kekuasaan Belanda. Dengan cara kekerasan dan perang, melalui kontrak dan atau perjanjian dengan penguasa-penguasa /raja lokal, bahkan kadang dengan tipu muslihat, akhirnya Kepulauan Indonesia ini berada di bawah kekuasaan Belanda. Pada masa kekuasaan Belanda inilah secara nyata mulai dikenal batas wilayah termasuk batas-batas wilayah Hindia Belanda yang kemudian menjadi wilayah Negara Indonesia, dari ujung barat (Aceh) sampai ujung timur (Papua). Batas tanah Hindia Belanda bagian timur di Papua ini telah disepakati dengan perjanjian antara Belanda dan Inggris pada tahun 1895.

KESIMPULAN
  1. Kebijakan penjajah yang cenderung menindas dan intervensi politik di lingkungan istana kerajaan, telah menempatkan penguasa lokal menjadi bawahan Belanda. Rakyat menjadi rendah diri.
  2. Penjajahan orang Eropa di Indonesia telah mengenalkan birokrasi pemerintahan.
  3. Rakyat hidup semakin menderita bahkan timbul kemiskinan akibat dari kebijakan monopoli, tanam paksa, beban pajak dan kerja rodi.
  4. Penguasa lokal menjadi bawahan kolonial sehingga banyak yang tidak memperhatikan rakyatnya.
  5. Mulai diperkenalkan sistem ekonomi uang, untuk menggantikan sistem perekonomian tradisional.
  6. Mulai dikenal tanaman-tanaman yang laku di pasar dunia dan dibangunnya sarana prasarana pertanian dan perkebunan, sarana dan prasarana transportasi kereta api.
  7. Pada pada masa penjajahan Belanda telah diperkenalkan dan ditetapkan batas wilayah, termasuk wilayah Hindia Belanda yang kemudian menjadi wilayah Negara Indonesia.
LihatTutupKomentar